Cerpen : Derita Cro-Magnon


        Kata iklan sih Dunia semakin cepat, dan harus pakai tablet yang tepat. Sebenarnya bingung juga mencernanya apalagi masih ada handphone nokia tahun jebot di saku celana. Masih ada mesin ketik punya bapak untuk buat surat pengumuman bagi warga (Pak RT, nihh). Jadi, harus bagaimana?
***
            “Jin!—eh! Jin dan Jun!” ekor mataku sempat melihat siapa yang meneriaki diriku. Sebenarnya Jin itu bukan namaku melainkan Tandi. Tandi Hartanto. Kurang bagus apa orang tuaku memberi nama? Ibu dan Bapak bilang kalau mereka harus kebukit Soeharto, berkemah demi mendapatkan nama yang bagus. Yaaa… walaupun nama belakang ‘Hartanto’ itu masih banyak yang punya. Mereka seenaknya mengubah dengan memanggilku ‘Jin’. Alasannya? Yaa, karena mereka punya tablet super canggih yang tinggal digeser, pencet, baca deh. Geser, pencet, download, deh. Sedangkan aku? Bagi mereka handphone butut warna hitam di saku celanaku ini adalah bola kristal jin, dan tubuhku yang ‘cukup’ gembul ini adalah fisik jin-nya.
“Dipanggil kok gak dijawab sih,” kata Iba seraya menjawil perutku. (Uuukkhh). Aku sungguh-sungguh ‘iba’ dengan dirinya. Kepala botak, alis tebal, mata agak sipit, bibir agak memble, hidung mancung kebawah (masih untung mancung), kulit setengah gosong (ukuran gosong kulit bukan seperti roti). Bagaimana pun kerenan aku.
“Tandi. Oke? Nama gue Tandi. Bukan Jin,” jawabku sambil menyenggol bahu Iba sedikit, biar terkesan dramatis.
“Payah lu, padahal gue mau kasih info tentang dia nih,” Aku langsung berbalik seratus delapan puluh derajat. Bayangkan dengan efek slow motion. Ohhh, pasti kau para wanita akan terkagum-kagum dan langsung memintaku berfoto seperti Kak Shone dalam film First Love. Jangan-jangan, aku lebih ganteng dari Mario Maurer, kok.
            “Buruan,” sahutku dengan tampang netral. Jangan sampai si botak ini mengetahui perasaan hatiku yang dipenuhi bunga sakura.
“Dia udah punya gebetan bro,” Sekarang bunga sakura pink itu melebur dan menjadi bunga mawar penuh duri dan, oh, menusuk hatiku, mengiris, dan sekarang aku yakin akan ada asap panas mengepul dari rongga telingaku.
“Sabar aja bro, kalau lo memang dilahirkan untuk dia pasti masih ada kesempatan,” tumben botak itu mengeluarkan kalimat mutiara. Biasanya kalimat pete china yang uukkhhh, tahulah bau pete seperti apa.
***
            Aku dengan enggan mengantarkan surat pemberitahuan pemilihan ketua RT pada hansip yang bertugas malam itu. Tugas ini cukup menyita waktuku untuk menggambar sketsa anggun sang maha dewi, yang omong-omong akan kuselipkan di tas sekolahnya besok pagi.
“Wih, suaranya bagus banget,” ucap bang Il. Aku memfokuskan mata kearah benda kecil ditangannya. Oh, handphone android yang katanya bisa membuat hidupmu bewarna.
“Bang Il nih surat dari bapak. Tolong tempel di papan pengumuman ya,” kataku sembari menaruh setumpuk surat (sebenarnya hanya lima lembar) dekat kaki bang Il.
“Eh Tandi sini dulu,” tidak biasanya bang Il mengajakku mengobrol. Aku tahu, sebagai anak ketua RT aku cukup dihormati dan (katanya) para hansip ini jadi bodyguard ku selama bapak menjabat. Jangan bayangkan mereka menggunakan kaos hitam, menampakkan dada bidangnya dengan kepala tanpa rambut (bahasa halus), dilengkapi alat walky talkie dan pistol dengan peluru yang bisa menembus jantungmu karena sesungguhnya mereka hanya menyimpan pisau lipat disaku celana bewarna hijau itu.
            “Kenapa bang?” bang Il dan satu rekannya yang sepertinya orang baru itu rupanya sedang menonton tayangan penyanyi Korea di Youtube. Mau tak mau aku juga tersihir. Suara yang bagus, penampilan yang emm, okelah. Bang Il yang jomblo sehidup semati saja senang.
“Ini nih Tandi. Abang suka sama Tipani!” Walaupun tak ada handphone canggih ditangan, aku tahu-lah siapa itu Tiffany. Iba dan teman-teman yang lain sering membicarakannya sampai-sampai mata mereka mengeluarkan air mata, menangis terharu melihat kecantikannya.
“Tiffany bang, bukan Tipani. Udahlah bang, jangan diliatin mulu yang itu. Coba abang liat yang di sekitar sini biar kalau bentol-bentol begitu tinggal minta diobatin,” kataku sambil menatap ngeri bentol yang (mungkin) sewaktu-waktu bisa meletus.
“Waduh!”
            Setidaknya malam ini nyamuk-nyamuk nakal itu tidak menggigit dewiku dalam sketsa.
***
“Buruan ih,” dorong Iba dengan keji. Ia tidak mengerti perasaan temannya yang sedang dag-dig-dug. Atau dia memang tidak-akan-pernah-mengerti.
“I-ini,” kataku gugup. Sial. Rencanaku semalam untuk menyelipkan saja sketsa wajah dewiku hancur berantakan. Ini semua gara-gara Iba yang dengan histerisnya meminjam pom-pom milik cheerleader dan mengumumkan semuanya, sekali lagi : semuanya kepada teman-teman kelas yang harusnya tidak perlu tahu dan tidak akan tahu. Sekarang? Berkat tangan-tangan jahil mereka aku ter-pak-sa (dalam hati kecil tidak terpaksa) menyerahkan sketsa itu secara langsung, live.
            “Tandi kelas sebelah?” kata teman disebelah dewiku. Aku menatap sekilas wajah mereka karena sekarang mataku terpaku pada sepatu adidas kw yang kubeli dipinggir jalan.
“Thankyou,” kata dewiku. Tuhan, aku bermimpi? Dewiku, dewiku mengucapkan terimakasih dengan bahasa lain. ‘Thankyou’ ditelingaku seperti ‘I love you, Tandi. You’re my guardian’. Mungkin setelah ini aku akan memeluk seluruh teman-temanku, khususnya Iba.
“Kubuka ya,” nah, sekarang dewiku mau membuka sketsa wajahnya. Ehhhh tunggu ini bukan bagian dari rencana. Kurampas atau halusnya kuambil paksa sketsa itu dan dengan gentlemennya berkata, “Nanti saja dibukanya,” lalu kukembalikan ketangannya. Kuharap suara dari tenggorokanku ini terdengar seperti suara Raffi Ahmad.
            “Payah lu! Biarin aja si Tari buka sekarang,” bagus, Iba. Aku akan menghajarmu setelah ini dan tidak akan pernah berterimakasih kepada teman-teman.
“Eh sorry Tari. Tandi ini memang agak pemalu dan sok ganteng padahal BB aja enggak punya,” aku mendengus.
“Baguslah gue enggak punya bau badan!” kataku frustasi. Kenapa aku memilih Iba sebagai teman?
“Blackberry pak RT!” Iba menjitak kepalaku dan sekarang aku terlihat sangat meng-iba-kan. Tiba-tiba Tari mendengus dan aku tidak percaya kalau dia mengeluarkan sejenis asap dari hidungnya. Apa dia marah?
“Keluar kalian berdua,” katanya sambil melambaikan tangan. Bola matanya berputar dramatis membuat dia semakin terlihat cantik. Oh, aku akan mengingat baik-baik ekspresinya dan akan kugambar setelah ini.
Setelah menghajar botak yang satu ini.  
***
            “Enggak usah bawa-bawa merek dong. Oke, gue tahu. Gue enggak punya yang namanya White berry itu, gue enggak punya yang namanya android itu, gue enggak punya tablet itu kecuali tablet sakit kepala. Gue enggak punya semuanya. Tapi bro, lo tega mempermalukan gue didepan my dewi?”
“Blackberry,”
“Terserah apa itu namanya. Yang jelas lo sudah keterlaluan. Gue tahu gue enggak punya uang untuk beli barang-barang yang begituan. Sedangkan lo bisa. Coba lo ada di posisi gue, Ba,” Iba merangkul pundakku. Aku tahu sebenarnya ia teman yang baik, tapi terkadang ‘terlalu baik’ sampai membuatku naik pitam. Aku jadi teringat handphone android bang Il kemarin. Dia saja sudah punya, kok aku belum? Aku jadi ingat tukang ojek depan gang, mereka semua mengeluarkan benda yang bernama blackberry. Mereka tertawa, dan terkadang memasang mimik serius saat menatap layar. Aku tahu tentang BBM, tentang Twitter, Facebook, Instagram, Line, Kakaotalk, Camera 360 tapi tidak pernah menjalankannya. Apakah Bapak dan Ibu tahu perasaanku sekarang?
“Kalau gitu gue bakalan kerja buat beli barang begituan,” dengan raut wajah Iba yang aut-autan (memang selalu begitu) ku tinggalkan dia dengan perasaan kalut.
***
            “Cro-magnon,” suara perempuan menganggetkanku. Segera kutolehkan kepalaku dengan perasaan malas. Tapi berubah semangat ketika pemilik suara itu adalah Tari.
“Dasar Cro-magnon. Kuno. Zaman sudah berubah, tahu? Tidak usah pakai bambu lagi untuk mencari makan,” aku tidak percaya Tari mengatakan semuanya dengan wajah datar dan tidak berdosa. Apakah semua orang yang mempunyai benda seperti itu mempunyai tingkah seperti ini?
“BB enggak punya, Android enggak punya. Jangan-jangan enggak punya nomor handphone. Bagaimana aku mau bilang bagus untuk sketsamu ini? Apa aku harus ke halte setiap hari untuk berbicara denganmu?”
            Aku tersenyum. Tiba-tiba aku merasa seperti mahkluk invertebrata. Seluruh tubuhku seperti terhempas angin. Rasanya seperti manusia yang tidak mempunyai massa. Sendi-sendiku benar-benar berkarat sampai-sampai kepalaku tidak bisa bergerak sesenti pun. Aku menatap Tari sambil tersenyum.

“Itu aku. Deritaku. Derita Cro-Magnon,” 

Komentar

Postingan Populer