Cerpen ^^


Give Me Light, Mom!
    Aku terbangun seketika mendengar bunyi bel jam ku berdering. Rupa nya sudah pagi. Tapi cuaca masih terlihat gelap. Aku segera keluar dari selimut kesayangan ku yang berwarna biru langit, warna kesukaan ku.
    “Hmm.. hari ini pelajaran nya Fisika, Kimia, Sejarah, Olahraga, sama Komputer. Hhh.. jadwal nya enggak banget!” seru ku sendiri. Aku sedang mengecek kelengkapan buku ku sebelum turun ke ruang makan untuk makan pagi.   
     Aku berdiri tegap di cermin panjang di sudut kamarku. Penampilan ku oke juga. Seru ku sendiri sambil cekikikan. Aku pun turun kebawah dengan menjinjing tas ku yang bewarna putih biru itu.
     “Mba Lulu! Ayah sama Bunda kemana ya? Mereka sudah bangun belum?” Tanya ku setiba nya di ruang makan. Mba Lulu yang sedang menggoreng pisang menengok kearahku.
  “Kayak nya sih ndo, belum bangun.” Kata nya dengan logat Jawa yang kental. Aku mengangguk mengerti. Dengan malas-malasan aku berjalan kearah meja makan. Sudah lama sekali aku tidak sarapan bersama Bunda dan Ayah. Di jam 6, mereka belum bangun. Mungkin karena lelah seharian bekerja. Biasanya aku sarapan bersama kak Alam. Tapi sekarang kak Alam sedang lomba melukis di Palembang. Aku jadi merasa kesepian.
    “Loh ndo di makan dong itu mie goreng nya. Mba Lulu sudah masakin seenak mungkin biar Mba Vio seneng.” Kata nya sambil tersenyum. Ahh.. ternyata masih ada yang peduli dan sayang sama aku.  Kata ku sambil menyendok mie goreng dan telur ceplok.
“Mba Lulu kedapur dulu ya.. kalau sudah selesai makan langsung ke garasi aja. Pak Zaka sudah nunggu.” Katanya lagi. Aku hanya mengangguk. “Coba saja Ayah atau Bunda bisa mengantarku ke sekolah. Pasti seru sekali.” Kata ku sambil menunduk. Rupanya Mba Lulu melihat dan sambil menitihkan air mata ia berjalan kembali ke dapur.

       “Eh, Alvionita! Dianter sama siapa nih?” tegur Githa di koridor kelas 8. Aku tersentak kaget.
“Eh iya.. ya biasa, sama Pak Zaka. Emang nya ada apa?” Tanya ku. Iya tersenyum. “Enggak kok. Enggak kenapa-kenapa. Fine-fine aja. Oke, lanjutkan baca mading nya.” Kata nya dan segera pergi. Sekarang ini aku memang sedang membaca mading. Dan ada satu kertas yang menarik perhatian ku untuk tidak segera pergi dari papan mading itu. Dia adalah puisi. Judulnya ‘Engkau Yang Tercinta’ :
   Sekian lama aku menunggu mu
 Menunggu kasih sayang mu,
Sekian lama aku bersedih
Hanya karena tak mendapatkan pelukanmu
Sudah sekian waktu aku menunggu mu,
Untuk memberikan itu semua,
Tapi kau hanya tersenyum kecil
Seperti tak memperdulikan
Walaupun begitu,
Engkau tetap yang tercinta ku.
   Aku ingin menangis membaca puisi itu. Tapi tidak bisa. Ini puisi yang sangat menyentuh. Aku jadi ingat kisah nyataku sekarang ini. Andaikan kalimat ‘Yang tercintaku’ itu ditujukan kepada Ayah dan Bunda. Aku jadi gelisah. Aku berjalan meninggalkan papan mading itu. Aku tahu kalau bersedih terus tidak akan pernah membuat mereka menyayangi ku. Lagi pula, kata Pak Anwar, sang kepala sekolah SMP SBI 01, tidak ada satu pun orang tua yang tidak sayang kepada anak nya. Jadi, aku yakin kalau Ayah dan Bunda sangat sayang kepada ku dan Kak Alam. Buktinya kami diberi semua fasilitas yang menunjang pendidikan kami. Tapi mungkin ada yang kurang. Ahh.. sudah lah.
        “Vio! Kamu sudah mengerjakan PR Fisika?” Tanya Rosy setiba ku dikelas. Aku mengangguk. Hari ini aku tidak ada mood untuk berbicara. Pertama, karena jadwal pelajaran yang enggak enak banget. Dan kedua karena membaca puisi tersebut. Aku jadi penasaran, siapakah sang penulis puisi keren tersebut?
        “Eh, Githa, kamu sudah baca puisi di papan mading koridor kelas delapan?” Tanya ku kepada Githa yang sedang sibuk meraut. Ia memutar tubuh nya seratus delapan puluh derajat ke hadapanku.
        “Eh iya, aku sudah baca. Bagus ya..” kata nya sambil tersenyum. Aku mengangguk. “Banget! Siapa ya yang nulis?” kata ku sambil menerka-terka. Githa merenung.
       “Hmm.. mungkin kakak-kakak Young Jurnalist.” Katanya sambil mengeluarkan pensil yang lain untuk diraut. Aku mengangguk. “Tapi kan banyak anggotanya git. Siapa ya? Apa mungkin Mba Fadhila? Atau Kak Tris?” kata ku sambil membolak-balik halam buku Fisika dengan asal. Iya mengangguk.
“Bisa jadi. Ku dengar mereka pintar membuat puisi. Mereka saja sudah menang lomba puisi dimana-mana.” Kata nya. Aku menjentikkan jari.
“Eh Githa, bisa tidak temanin aku ke kantor majalah sekolah di istirahat pertama ini?” kata ku bersemangat. Sekarang aku sudah punya mood bagus untuk berbicara.
“Boleh deh. Mau cari info tentang si penulis puisi menyentuh itu?” Ucap Githa menerka. Aku mengangguk sambil mengancungkan jempol. “Iya, lah!”

      Bel istirahat pertama berdering. Sesuai rencana, aku dan Githa melangkah ke kantor Majalah Sekolah. Semoga bisa menemukan ‘si’ penulis puisi menyentuh. Karena kami kelas 7, jadi daerah kami jauh dari kantor Majalah Sekolah yang berada di daerah kelas delapan. Sekolah ku ini memang membedakan koridor antara kelas tujuh, delapan, dan Sembilan. Tapi kami boleh kok, melewati koridor semua kasta kelas.
      “Hey! Lihat! Ada puisi baru!” seru ku senang saat melewati mading kelas delapan.
Wajah mu begitu sulit kulupakan
Gaya mu sangat sulit untuk di lupakan
Sekarang,
Aku jadi gundah gulana
Memikirkan mu
Memikirkan semua yang berhubungan
Dengan mu
Tuhan, tolong aku,
Tolong beri aku kesabaran,
Ketabahan dalam menghadapinya
Dan kabulkan doaku,
Supaya ia atau mereka menyayangiku.
    “Judul puisi ini Penghapusan. Galau banget.” Kata Githa mengomentari puisi indah di papan mading. Aku mengangguk.
“Kayak nya yang nulis lagi gundah gulana. Tapi, yang ini lebih menyentuh.” Kata ku ikut-ikutan mengomentari. Githa mengangguk.
“Ya sudah, ayok ke kantor majalah sekolah!” seru nya. Aku pun menggandeng tangan Githa.
 Sesampainya di kantor majalah sekolah…
    “Halo Mba Fatul! Hmm.. aku mau Tanya-tanya nih!” seru ku antusias. Mba Fatul tersenyum. “Silahkan dek. Mau Tanya apa?” katanya. Aku lalu menceritakan rasa penasaran ku terhadap sang penulis puisi di mading kelas delapan.
     “Ohh.. jadi itu yang mau adik tanyakan.. wah.. maaf dik. Kakak juga lagi penasaran sama sang penulis puisi menyentuh itu. Kakak enggak tahu dik siapa yang menulis.” Katanya. Aku sedikit kecewa. Tetapi aku memakluminya. Yahh.. mungkin si penulis benar-benar tak mau satu pun orang mengetahui bahwa ia yang menulis puisi. Aku berdiri dari tempat duduk, di ikuti Githa.
“Makasih ya Mba Fatul.” Kata ku sambil tersenyum lalu segera pergi meninggalkan kantor majalah sekolah.
      “Gith, aku semakin penasaran nih sama yang buat puisi!” seru ku. Githa mengangguk. “Sama, Vi, aku juga penasaran tingkat provinsi nih!” seru nya sambil terkikik.
“Aku penasaran tingkat Indonesia.” Timpal ku sambil tertawa. Kami berdua lalu tertawa. Saat kami melewati koridor kelas delapan kembali, kami melihat ada keramaian kakak-kakak kelas mengelilingi papan mading, ada apa ya?
      “Ssstt.. Githa.” Kata ku sambil menyenggol siku Githa. “Kesan yuk!” kata ku lalu segera menarik tangan Githa.

        “Ada apa nih?” Tanya ku kepada Nafika, yang kebetulan sedang disana.
“Enggak tahu sih! Tapi lagi pada heboh-heboh tentang puisi ini. Lagi pada nerka-nerka semua siapa penulisnya.” Kata Nafika sambil terus berjinjit agar bisa membaca tulisan puisi tersebut.
“Ohh.. yasudah, aku sama Githa balik ke kelas duluan ya! Dahh.!” Kata ku lalu segera menjauhi keramaian.

   
            “Assalamualaikum! Bunda, Ayah!” teriakku sesampainya dirumah.
“Assalamualaikum!” seru ku sambil meletakkan tas di meja makan.
“Eh, Vio sudah pulang toh..” kata Mba Lulu mengagetkan ku. Aku kira Bunda, rupanya Mba Lulu.
“Iya, Mba. Bunda sama Ayah mana?” Seketika air wajah Mba Lulu berubah.
“Bunda.. sama Ayah lah kerja toh ndo.. sing sabar ya..” kata Mba Lulu lalu segera kembali kedapur dan membawa senampan spageti.
“Nih Mba Vio. Mba Lulu butin Spageti. Dimakan ya.” Kata nya lalu tersenyum. Aku segera mengangguk karena aku memang ‘butuh makan’.
     
        Malam nya, aku merenung sendirian di dalam kamar. Merenungkan puisi menyentuh yang minus nama penulisnya. Dan merenungi nasib ku sebagai ‘anak semu’ di keluarga Bunda dan Ayah.
“Aku ngapain ya?” desis ku pelan. Lalu aku segera berjalan menuju meja belajar dan mengambil buku diari yang selama ini ku gunakan untuk curhat. Aku mulai menulis diari.
    Dear, my best friend.
   Aku sedih, aku gundah gulana. Selama ini orang tua ku tak pernah memberikan kasih sayang nya, tak pernah memberikan ku cahaya cinta mereka seperti orang tua yang lain. Terutama Bunda. Aku selalu di beri tahu oleh guru Agama ku kalau kasih sayang ibu itu lebih dari apapun. Tapi sepertinya kalimat itu tidak ada yang benar dalam hidupku.
Aku jadi malas ngapain-ngapain. Aku tahu, aku seperti tidak bersyukur di beri orang tua lengkap, diberi nikmat lebih. Tapi apa tidak wajar mengharapkan kasih sayang dari seorang Ibu? Seorang Ayah? Aku ingin Ibu memberikan ku cahaya cinta. Cahaya yang terang seperti Bulan dilangit. Aku ingin Ayah juga seperti itu. Aku ingin Ibu memberikan cahaya bulan dan cahaya cinta ketika aku mau terlelap. Seperti lagu ‘Ambilkan Bulan Bu’ yang sepertinya saat aku kecil ibu tidak menyanyikan nya untuk ku.
    Hmm..hanya kau, diari satu-satu nya best friend ku yang bisa diajak curhat. Terima kasih ya sudah mau mendengarkan cerita gundah ku. Do’a kan agar impian-impian ku tercapai. Babayy..!
   
 Salam tercinta,
Alvionita Aura Marine

   Hahh.. aku lega sekali bisa mencurah kan isi hati ku walau hanya kepada diari. Dan sekarang aku sudah siap tidur, dan berharap Bunda memberikan cahaya Bulan dan cahaya cintanya. Amin.

      “Eh, Vio! Ada berita menarik loh!” teriak Githa dan Nafika bersamaan.
“Apa-apa-apa?” Tanya ku tak sabaran.
“Kamu tadi lewatin koridor kelas delapan enggak?” Tanya Nafika.
“Yaiyalah, neng geulis! Jalan satu-satunya ke koridor kelas tujuh kan hanya lewat koridor kelas delapan!” kata ku sambil terikikik.
“Nah, kamu liat di papan mading enggak?” Tanya Githa.  “Enggak. Tadi ku lihat enggak ada puisi baru tuh! Masih sama yang judulnya ‘Penghapusan’.” Kataku sambil menaruh tasku di sambil kursi Githa.
      “Kamu tahu kenapa enggak ada puisi baru?” Tanya Nafika yang membuatku semkain penasaran.
“Enggak Naf. Ayok lah cerita..” Ucap ku.
“Enggak ada puisi baru karena penulisnya sudah tertangkap basah!” kata Nafika menggebu-gebu. Kebetulan teman sekelas sedang membicarkan sang penulis puisi.
“Eh, masa sih? Siapa emang nya?” Tanya ku. Nafika dan Githa tukar pandang.
     “Kak Wayan! Dia tertangkap basah sedang menulis puisi galau dan membawanya ke papan mading!” kata Nafika tersenyum puas.
“Huwoo! Aku tidak menyangka loh kalau yang nulis puisi itu Kak I Wayan Maja!” kata ku kaget. Githa dan Nafika mengangguk.
       “Mudah-mudahan setelah ketahuan ia yang menulis puisi menyentuh itu, ia enggak berhenti menulis puisi yang beralur galau atau sebaliknya.” Kata ku sambil tersenyum lebar selebar-lebarnya.

             Malam ini aku kembali bersedih dan menyendiri di kamar. Masih dengan pemikiran kalau aku anak semu dirumah ini. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. Mungkin Mba Lulu. Batin ku.
             “Masuk.” Kataku sambil menaruh diari yang sejak tadi ku genggam.
“Bunda?!” Tanya ku kaget. “Tak biasanya Bunda ke kamarku malam-malam.” Kata ku sambil memeluk beliau. Ku lihat mata Bunda yang seperti habis menangis.
“Iya Vio. Maafkan Bunda ya. Bunda tidak memperhatikan kamu dan Kak Alam selama ini.” Kata nya sambil mempererat pelukan nya.

     Bunda, berikanlah aku cahaya bulan yang sangat terang. Untuk bisa memberikan kenyenyakan dalam tidurku. Bunda, berikanlah cahaya cinta mu kepada ku. Karena aku akan memberikan yang sama untukmu, bahkan lebih. Terimakasih Bunda sudah sadar bahwa aku kekurangan rasa kasih sayang mu. Kekurangan cahaya cintamu, kekurangan cahaya bulan yang sangat benderang. Karena disetiap malam ku, aku selalu merasa bahwa bulan tertutup kabut tebal sekali hingga cahaya nya tidak sampai ke diriku. Dan cahaya cinta mu juga begitu.
            

Komentar

Postingan Populer