Imagine

Kali ini aku sedang bersama dua kucing ku. Yang satu namanya Bento, yang satu lagi namanya Elys. Dua kucing itu sedang bermain-main dengan bola warna-warni yang dibelikan Kak Bunga saat ia berjalan-jalan ke kios mainan kucing. Aku menunduk lesu. Kali ini alasan aku menunduk lesu adalah memikirkan tugas Kesenian yang tak kunjung selesai. Pak Untung memberikan tugas yang menurut ku lebih berat dari pada mengangkat kuda di permainan catur (Yaiyalah..). Pak Untung memberikan tugas untuk membuat guci dengan lukisan-lukisan unik dan belum pernah ada sebelumnya.
“La.” Tegur seseorang dari belakang. Di ikuti dengan sentuhan di pundak ku. Refleks, Aku terkaget.
“Eh eum.. iya?” Tanya ku gugup. Yang menegur ku adalah Kak Bunga. “Kamu ngapain disini? Tuh liat si Bento sama Elys sudah tidur pulas.” Kata kak Bunga sambil menatap kucing lucu itu dengan gemas. “Enggak kak, aku enggak sedang apa-apa.” Kata ku sambil berdiri. “Aku masuk kamar dulu ya!” Kataku lagi. Kak Bunga yang melihatku hanya nyegir kuda sambil menggeleng-geleng kan kepala.

“Huffhh..” aku mengehela napas panjang. Dan menjatuhkan diri ke kasurku yang empuk. Terpikir olehku untuk menelpon sahabat karib ku, Fana. Segera ku embat handphone ku yang ada di atas bantal. Dengan cekatan, aku memencet tombol-tombol huruf sekaligus angka yang ada.
Fan, kerumah ku dong.. bisa gak? Aku kesepian nih! Belum juga ada ide untuk buat kesenian yang pak untung tugaskan! :D Aku segera menekan tombol send. Tidak lama setelah itu, handphone ku berdering.
Okedeh, tunggu aja ya.. lagi otw nih.. =D Aku tersenyum tipis melihat pesan dari Fana.

Tanpa sadar, aku sekarang sudah ada di meja belajarku. Menatapi sebuah buku yang berjudul ‘Imagine In Your Life’. Buku itu hadiah dari kawan lamaku dari tempat Les Ice Skating, Junior High School Ice Skating di daerah Jepang. Dan sampai sekarang pun belum ku baca, karena tak mengerti apa maksud dari buku tersebut. Perlahan-lahan aku membuka buku itu. Belum sempat menyentuh halaman pertama..
“La.. Trela..” Ada orang yang memanggilku dari luar. Dengan langkah gontai, aku menuju pintu kamar dan membukakan pintu untuk sang tamu. Ohh.. rupanya Fana. “Silahkan masuk!” sambutku hangat, tanpa ekspresi. Fana yang melihat ku, dengan ekspresi yang datar, kebingungan. Fana menyentuh pundak ku. “La, kamu gak papakan? Aku gak ganggu kamu kan?” Tanya Fana gemetaran. Aku hanya mengangguk lemas. Fana mengandeng tangan ku dan segera menuntunku ke tempat tidur. “Trela, kamu kenapa?” Tanya Fana lagi. Kali ini Fana mengguncangkan tubuh ku yang mungil.

Lembaran demi lembaran ku buka. Dan sekarang sudah sampai dilembar ke 12. Aku membacanya dengan teliti dan seksama. Jari-jari kecil ku mengetuk-ngetuk buku yang sedang ku baca. Ada banyak gambar yang ku lihat sekarang. Pelangi, awan, burung, pohon cemara, kuda, dan macam-macam. Semuanya berkaitan dengan alam. Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang memegang pundakku. Dengan sigap aku berbalik arah kebelakang. “Siapa kamu?” Tanya orang misterius itu. Aku hanya menggeleng. Wajah orang misterius itu keren sekali. Dengan rambut hitam legam, kulit putih bak pasir pantai, mata biru bak air laut, dan gaya bicaranya yang bisa membuat mu meleleh seperti es krim.
“Trela.” Jawabku singkat dan padat. Si orang misterius itu pun juga memperkenalkan diri.
“Ran.” Dia memperkenalkan diri sama seperti ku, singkat dan padat. Aku hanya tersenyum. Ia membalasnya dengan senyumannya. Seketika itu juga sekujur tubuhku di penuhi oleh keringat dingin. Aku tak percaya melihat senyuman yang begitu indah dari seorang Ran, cowok yang baru ku kenal, dan sekarang aku tak tahu ada dimana. Sepertinya suasana saat ini ada dikamarku sendiri. Tapi aku bingung tujuh keliling karena tak tahu darimana datang nya si Cowok misterius yang cool dan senyuman nya sukses membuat ku berkeringat dingin.
“Kamu.. kamu..” Rasanya aku ingin berbicara, tapi serasa kalimat itu tercekat di tenggorokan. Efek senyuman manis dari yang bernama Ran itu sepertinya masih terasa. “Apa?” tanya Ran lagi. Kali ini ia tersenyum sedikit. Tapi ohh tidak.. ini tidak bisa dibayangkan. Biar ku deskripsikan bagaimana suasana saat ini, dan bagaimana bentuk senyuman manis dari si Ran. Suasana kali ini dingin, beku seperti es batu. Tapi suasana seperti sekarang ini mungkin hanya sebentar terasa, karena seketika langsung mencair dengan senyuman super manis dari si Ran. Dan biarku jelaskan dengan dua kalimat tentang bentuk senyuman dari si Ran ; Manis, Keren. Hanya itu. Masih banyak lagi penjelasan. Dan sangking banyak nya yang harus ku jelaskan padamu, aku lupa semua kalimat yang ingin ku jelaskan padamu. Oke, ini sangat aneh.

Aku tertegun sebentar, memandangi sekelilingku. Tidak ada yang berubah dengan suasana yang lampau. Tapi aku tidak yakin dengan keadaan ku sekarang. Kepala ku pusing, mata ku berkunang-kunang, dan badan ku bercucuran keringat. Samar-samar ku lihat ada yang memandangiku dengan tatapan hangat. Oh yeah! Itu Ran! Dalam hati aku bersorak-sorak. Ku Harap dunia ku selalu begini, jantungku berdegup kencang ketika aku mencoba berlama-lama memandanginya. Walaupun sekarang mataku sudah agak rabun. Aku tertidur.
“Hey! Trela!” panggil seseorang. Aku memegangi kepala ku yang sedikit pusing. Sekuat tenaga aku berkata, “Iya.” Aku masih lemah. Tapi untungnya aku masih ingat semua kejadian yang tadi-tadi. Awal aku melihat si cowok misterius itu, dan dia senyum padaku. Membuat seluruh badan ku basah kuyup karena mandi keringat. Dan sekarang ia masih ada di tepi tempat tidurku.
“Trela, kamu tidak apa-apa?” tanya-nya lembut. Sambil tersenyum. Rasanya aku ingin pingsan dan segera kabur, karena jujur, aku tidak kuat dengan keadaan yang sekarang. Walaupun bagi sebagian kaum hawa itu adalah saat-saat yang tepat untuk menarik perhatian. Tapi tidak bagiku. Sudah cukup capek menahan keringat yang keluar dari dalam tubuhku. Dengan tertidur, tidak membuat mata ku terang kembali.
...Oohh
“Sesuap nasi, bisa membuatmu sembuh. Percayalah.” Kata Ran sambil menyuapi ku. Aku yang sejak tadi kelaparan tak peduli mau di suapi siapa. Sekalipun dengan Ran, si cowok super duper keren dan kalau dibawa ke sekolah pasti hawa-hawa satu sekolah menjerit-jerit ala Fan girl. Aku mengernyitkan dahi. Setelah menelan sesuap nasi. Aku masih ingin lagi.
“Enak.” Komentar ku datar. Aku menengok kearah tembok sebelah kiri. Melihat jam. Masih jam tiga sore. Sang pangeran menengok kearah ku. Dia tersenyum kembali. Oh tidak, iya mengeluarkan jurus jitunya untuk menaklukan ku. Seru ku dalam hati. Aku menyudahi suapan nya yang ke delapan. Dia memberiku secangkir teh panas. Hmm.. sekarang aku merasa baikan. Kali ini aku duduk dihadapannya.
“Ran, makasih.” Kata ku singkat. Sebetulnya aku ingin sekali bercakap panjang kali lebar dengannya. Karena masih penasaran dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Dan penasaran bagaimana bisa ia mempunyai senyum seindah itu. Aku.. aku..

“Kenapa tadi kamu?” tanya Ran. Ia sedang asyik dengan gadget canggihnya. Tidak tahu apa namanya. Aku menatap nya sebentar, lalu memejamkan mata.
“Aku.. hmm.. tidak tahu.” Jawab ku gugup. Sebenarnya aku ingin bilang ; aku begitu karena kau telah mengeluarkan senjata mu yang begitu berbahaya. Kau menghipnotisku dengan senyuman mu. Membuat ku terkulai lemas, dan akhirnya tertidur pulas. Itu ajaib. Aku tidak mungkin bicara itu padanya. Ku harap itu mustahil.
Dia menengok ke arah ku. Menatap ku lekat-lekat, dan tersenyum. Dia lalu menyerah gadget canggihnya kepadaku. Aku terpanah. Woww.. decak ku dalam hati. Ini luar biasa! Gadget itu bisa melukis diriku yang sekarang. Aku mengangguk.
“Bagaimana? Baguskan?” tanya nya. Aku mengangguk pelan. Dengan mata berbinar karena ia, si Ran yang aku pun bingung mau memanggilnya apa, karena kata-kata ‘Ran’ janggal untukku, selain keren, manis, dan baik hati, iya juga pintar. Ini sangat eksotis. Hahaha.. aku lebay..

Kali ini aku memberanikan diri untuk bertanya darimana asalnya dan bagaimana ia bisa tahu rumah ku.
“Hmm..” aku gugup. Tapi kupaksakan. “Maaf Ran, aku ingin bertanya.” Aku berbasa-basi. Ran menatap ku lekat, hangat, sejuk. Aku terpana lagi. Aku menunduk, lalu langsung berbicara to the point. “Kau berasal dari mana?” Tak sangka aku bisa mengatakannya. Aku deg-degan. Dia tersenyum, seperti biasa, senyumannya manis dan membuat ku meleleh.
“Aku..?” Dia balik bertanya. “Ya.” Jawab ku singkat. “Oke, aku berasal dari Jepang. Sebenarnya aku asli Amerika, tapi aku mengikuti ayah ku yang bekerja di Jepang.” Lalu dia mengangguk, dan meneruskan kalimatnya. “Aku tahu kau, dan tahu rumah mu karena teman mu,Hana.” Katanya lagi sambil tersenyum. Aku kaget. Hana? Itu kawan ku yang sudah ku tinggal selama 4 tahun karena aku pindah ke Indonesia. Bagaimana bisa ia tahu aku tinggal disini? Aku semakin bingung. Keningku berkerut. Ran menatap ku aneh.
“Trela, kau kenapa?” Lagi-lagi si cowok cool itu menghawatirkan ku. Aku segera bangun dari lamunan ku.
“Oh.. yeah! Tidak apa-apa.” Aku menarik napas. “Kok kau tahu Hana?” Tanya ku. Kali ini rasa gugup ku tidak terlalu terasa. Ia menarik napas panjang.
“Iya, aku satu les sama dia waktu di Jepang.” Mulut ku menganga. Tidak percaya. “Maksud mu, High School Ice Skating?” Tanya ku gugup. Ini sebuah kebetulan. Ia mengangguk.
“Iya, kamu pernah les disitu juga kan?” Ia balik bertanya. Aku hanya mengangguk. “Sekarang, kamu tahu Hana dimana? Aku ingin bertemu.” Tanya ku lugu. Aku lalu bangkit dari tempat tidur, dan mengambil sebuah buku catatan kecil. “Katakan padaku, dimana Hana?” Aku sedikit memaksa. Dia diam seperti patung, lalu nyengir.
“Hana ya di Jepang.” Jawab nya santai. Aku mendesah. Lalu mengembalikan buku catatan kecil itu ketempat semula.
“Kau...” Kalimat Ran tiba-tiba terputus. Lalu dia menjentikkan jarinya. Dia tersenyum manis.
...1
...2
...3
Aku keringat dingin. Ini selalu saja terjadi jika ia, si cowok yang mempunyai senyum paling mempesona, melebihi pesona alam pantai Belitong itu senyum. Aku mengusap dengan kasar wajah ku. Aku takut. Bulu kuduk ku berdiri. Si Ran menenangkan ku. Oh...
“La, kamu kenapa? Kamu pucat.” Tanya nya dengan nada seperti ibuku saat melihat ku terkulai lemas. Aku hanya tersenyum seadanya. Dia meraba kantong nya. Lalu menyodorkan benda yang ia ambil dari kantong nya itu. Sebuah obat. Ugghh.. aku mendesah dalam hati. Aku paling tidak suka kalau disuruh minum obat. Dia tersenyum, lalu mengangguk.
“Ini.” Dia menyerahkan obat yang ia rogoh dari kantong celananya. Ingin rasanya menolak, tapi tidak enak. Karena aku belum mengetahui sifatnya ; apakah sensitif, atau yang lain. Akhirnya ku terima obat itu dengan senyum alakadarnya. Dia mengembalikan senyuman alakadar ku dengan senyuman alakadar ala Ran yang menerut ku diatas standar. Terpesona.

Perasaan ku, lama sekali ia bertandang ke rumahku. Tapi kenapa tidak satu pun orang rumah yang mengetahui kalau ia ada didalam kamar ku? Tak biasanya Bi Fatimah tidak menyuguhkan makanan ringan atau yang lain nya kepada tamu. Walaupun tamu itu hanya sebentar dirumahku.
“Trela Alviaska?” Dia memanggil namaku dengan kata ‘Alviaska’ yang di tekan. Nadanya seperti orang bertanya.
“Iya?” Aku balik bertanya dengan perasaan aneh. Lagi-lagi dia tersenyum. Ku pikir ia hanya memancingku untuk melihat senyuman nya yang indah. Oke, dia tidak perlu ‘pamer’ senyuman kepadaku. Aku sudah tau kok, kalau ia memiliki senyum yang indah.

Dia menepuk pundak sebelah kanan ku. Ia, ahh kalian sudah tahu hal pertama yang si Ran lakukan saat menegurku. Oke, tak perlu penjelasan. Aku hanya mengernyitkan dahi. Dan berlagak pucat. Ran berbalik arah dan menatap ku lekat-lekat. Aku... aku risih. Tapi juga senang. Tak biasanya ada kaum adam yang memandangku seperti itu. Paling hanya si ganteng maut yaitu Reza, yang fans nya berjibun dari ujung sekolah sampai ujung sekolah lagi (tentunya perempuan yang menggemari). Itupun aku tidak tahu kenapa dia menatap ku lekat-lekat. Baik, kembali ke kisahku saat ini bersama si cowok misterius.

Saat ini si Ran masih menatap ku lekat, lekat sekali. Dia mengangkat tangannya, tapi turun lagi. Oh tidak.. aku semakin terpana. Tak sadar, aku menyunggingkan senyuman ku yang paling manis. Dia balik senyum. Kali ini aku sadar bahwa lagi-lagi aku dipancing untuk melihat senyuman indah nya itu. Aku menengok kesebelah kiri, agar ia sadar kembali. Betul saja, ia sadar kembali. “Engummeenngg..” dia bergumam tak jelas. Sepertinya ia gugup. Dalam hati aku tertawa penuh kemenangan. Hahaha.. aku menutup mulutku, karena aku tersenyum, dan tidak mau kalau Ran melihat dan mengembalikan senyuman, karena aku sudah cukup berkeringat.

Aku merasa ada yang aneh. Aku melihat se-ekor cicak lewat di dinding tempat aku bersandar. Karena kaget, aku loncat ketempat tidur dan menyentuh papan tempat tidur
Aku melihat tangan ku memar. Tapi aku tidak merasa sakit saat menyentuh papannya. Ran melihatku dengan wajah cemas. Dia mengangkat tangannya lagi dan kali ini memegang kelingkingku. Dan kali ini, aku pun tak merasa kalau Ran memegang kelingkingku. Ini sangat aneh dan ajaib.

Aku menggeliat. Samar-samar aku melihat seorang perempuan yang berlinang air mata menatap ku tajam. Aku termenung, rasanya yang menjaga ku tadi ku tadi Ran. Aku mengucek mata, dan akhirnya pandangan ku normal lagi. Aku melihat Eum.. oh ya! Fana!
“Kamu kenapa menangis Fan?” aku bertanya. Fana menggeleng dan menghapus airmatanya. Aku bangkit. “Kamu.. kamu pingsan.” Kata Fana gugup. Aku menggaruk kepala. “Pingsan? Aku tadi bermain-main bersama Ran.” Aku menjawab alakadarnya. Fana tersenyum.

Aku sudah menjelaskan ceritaku bersama Ran, dan ternyata itu didunia mimpi. Aku mengerti sekarang, aku pingsan karena terlalu banyak berfikir. Dan Tuhan telah memudahkanku mencari ide. Aku tahu, sekarang akan membuat apa di guci itu. Menggambar imajinasi ku saat bersama Ran di alam mimpi.

Komentar

Postingan Populer